Indonesia terkenal akan keanekaragaman budayanya. Bahasa pun demikian, juga
beranekaragam. Mulai dari Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Betawi, Bahasa
Batak, Bahasa Madura, dsb. Wilayah yang memiliki bahasa daerah yang sama belum
tentu bahasanya sama persis. Contohnya adalah Bahasa Jawa. Bahasa Jawa untuk
orang yang tinggal di daerah pesisir pantai dengan yang tidak sudah sangat
berbeda. Hal itu memang karena kebiasaan masyaraktnya yang berbeda. Dan masih banyak
lagi yang lainnya.
Mengenai bahasa daerah,
salah satu bahasa daerah yang belum banyak dikenal adalah Bahasa Dawan. Bahasa Dawan yang memiliki sederet nama alternatif seperti UAB
METO, METO, UAB ATONI PAH METO, UAB PAH METO, TIMOR, TIMORESE, TIMOL,
TIMOREESCH, TIMOREEZEN, TIMOR DAWAN, RAWAN (Ethnologue: Languages of the
World, 14th Edition) adalah bahasa daerah mayor bagi suku Dawan, atau yang
kerap disebut Suku Atoni, dengan 600.000 penutur (Grimes, Therik, Grimes,
Jacob, 1997), dengan dialek-dialek AMFOAN, AMANUBAN, AMANATUN, MOLLO,
MIOMAFO, BIBOKI, INSANA, AMBENU, KUSA, MANLEA (Grimes, Therik, Grimes,
Jacob, 1997). Jumlah penutur di atas menempatkan bahasa Dawan pada posisi
mayor di Propinsi Nusa Tenggara Timur dan patut dilestarikan lewat berbagai
upaya preventif dan progresif. Dalam hal ini pemerintah memiliki tanggung jawab
konstitusional. Bagaimana perwujudan tanggung jawab tersebut? Ajib Rosidi,
sastrawan kenamaan Indonesia dan penggagas Hadiah
Sastra Rancage, dalam suatu penyerahan hadiah sastra tersebut di Bali pada
tahun 1999 (Kompas, 19/08/1999) melontarkan keprihatinannya bahwa
pengembangan sastra dan bahasa daerah seakan-akan diserahkan kepada suku bangsa
pemiliknya begitu saja, pemerintah seperti tak mau tahu. Padahal menurut
konstitusi, hal itu termasuk tanggung jawab pemerintah. Kalau demikian
keadaannya, barangkali sudah saatnya para penutur dan pewaris bahasa ini
dengan sadar dan suka rela, sambil menanti perubahan positif, maju lebih depan
ke garis depan, tanpa rasa malu dicibir sebagai atoin kuan (Dawan, orang
kampung, istilah Kenz Sila), buta huruf, dll. untuk melestarikan bahasa dan
sastra sendiri dengan tetap menaruh rasa hormat dan menjunjung tinggi bahasa
Indonesia, yang menurut peminat dan pemerhati bahasa Indonesia, Prof Dr Mien A Rifai, dalam Seminar Nasional X
Himpunan
Pembina Bahasa Indonesia (HPBI) di Jakarta, September 2000, adalah satu-satunya
perekat bangsa yang masih tersisa di tengah arus globalisasi saat ini. Perlu
diingat bahwa, sebagai suku Dawan, kita berbahasa Dawan; sebagai bagian tak
terpisahkan dari bangsa Indonesia (bagi mereka yang tinggal di NTT dan
berkewarganegaraan Indonesia), kita berbahasa Indonesia; dan, sebagai bagian
dari masyarakat dunia, kita perlu menggunakan salah satu bahasa internasional,
pada umumnya adalah bahasa Inggris.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar