Jumat, 24 Januari 2014

OSING, BAGIAN DARI SUKU JAWA YANG MEMILIKI SEMANGAT PATRIOTISME DAN RESISTENSI TINGGI

Tahukah Anda mengenai Suku Osing? Ya suku ini merupakan bagian atau percabangan dari Suku Jawa. Suku Osing atau biasa diucapkan Suku Using adalah penduduk asli Banyuwangi atau juga disebut sebagai “Wong Blambangan” dan merupakan penduduk mayoritas di beberapa kecamatan di Kabupaten Banyuwangi.
“Osing” dalam bahasa Osing sendiri bisa diartikan “tidak”, sehingga ada anekdot yang mengkisahkan tentang keberadaan orang Osing itu sendiri, ketika orang asing bertanya kepada orang banyuwangi bahwa kalian orang Bali atau orang Jawa? mereka menjawab dengan kata “Osing” yang artinya tidak keduanya.
Banyak sekali referensi yang menghubung-hubungkan antara orang Osing dengan orang Jawa atuapun Bali. Hal ini terkait dengan asal mula adanya suku Osing ini. Sejarah suku ini diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali.
Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram Islam tidak pernah menancapkan kekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan kebudayaan masyarakat Osing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku Jawa. Suku Osing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali karena keduanya memiliki kesamaan dalam hal agama, yakni beragama Hindhu. Sebab pada masa itu Kerajaan Blambangan merupakan kerajaan yang bercorak Hindhu. Disisi lain Majapahit yang pada dasarnya bercorak Hindhu, berhasil hijrah ke Bali dan membangun kerajaan di sana karena kekuasaanya di Tanah Jawa sudah terusik oleh kerajaan-kerajaan Islam.
Kekuasaan Majapahit yang masih terasa kental terhadap kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindhu lainnya membuat Kerajaan Blambangan berada dibawah kekuasaannya. Majapahit yang bertempat di Bali membuat Kerajaan Blambangan secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali sehingga banyak Sejarahwan menyebut Kerajaan Blambangan secara politik dan kultural, menjadi bagian dari Bali. Tetapi, pada tahun 1639, kerajaan Mataram di Jawa Tengah juga ingin menaklukkan Blambangan yang meskipun mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Bali menelan banyak korban jiwa; rakyat Blambangan tidak sedikit yang terbunuh dan dibuang. Blambangan tampak relatif kurang memperlihatkan kekuatannya, di masa penjajahan Belanda, ia justru menampilkan kegigihannya melawan dominasi VOC. Perang demi perang terjadi antara rakyat Blambangan melawan kolonial Belanda. Hingga akhirnya memuncak pada perang besar pada tahun 1771-1772 di bawah pimpinan Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati yang dikenal dengan perang Puputan Bayu. Perang ini telah berhasil memporak-porandakan rakyat Blambangan dan hanya menyisakan sekitar 8.000 orang. Meski demikian, tampaknya rakyat Blambangan tetap pantang menyerah. Perang-perang perlawanan, meski lebih kecil, terus terjadi sampai berpuluh tahun kemudian (1810) yang dipimpin oleh pasukan Bayu yang tersisa, yaitu orang-orang yang oleh Belanda dijuluki sebagai orang-orang Bayu yang liar. Setelah dapat menghancurkan benteng Bayu, Belanda memusatkan pemerintahannya di Banyuwangi dan mengangkat Mas Alit sebagai bupati pertama Banyuwangi.
Blambangan memang tidak pernah lepas dari pendudukan dan penjajahan pihak luar, dan pada tahun 1765 tidak kurang dari 60.000 pejuang Blambangan terbunuh atau hilang untuk mempertahankan wilayahnya. Pendudukan dan penaklukan yang bertubi-tubi itu ternyata justru membuat rakyat Blambangan semakin patriotik dan mempunyai semangat resistensi yang sangat kuat.
Sejarah Blambangan sangat menyedihkan. Suku bangsa Blambangan terus berkurang karena terbunuh oleh kekuatan-kekuatan yang berturut-turut melanda daerah tersebut, seperti kekuatan Mataram, Bali, Bugis dan Makassar, para perampok Cina, dan akhirnya VOC. Tetapi semangat rakyat Blambangan tidak pernah sama sekali padam, dan keturunannya yang ada sekarang merupakan suku bangsa yang gagah fisiknya dan kepribadian serta berkembang dengan pesat, berpegang teguh pada adat-istiadat, tetapi juga mudah menerima peradaban baru. Rakyat Blambangan, seperti yang disebut-sebut dalam berbagai sumber di atas, itulah yang selama ini dinyatakan sebagai cikal-bakal wong Osing atau sisa-sisa Wong Blambangan.