Gunung Kelud (sering disalahtuliskan menjadi Kelut dalam bahasa
Jawa; dalam bahasa Belanda disebut Klut, Cloot, Kloet, atau Kloete)
adalah sebuah gunung berapi di Provinsi Jawa Timur, Indonesia, yang tergolong
aktif. Gunung ini berada di perbatasan antara Kabupaten Kediri, Kabupaten
Blitar, dan Kabupaten Malang, kira-kira 27 km sebelah timur pusat Kota Kediri.
Secara geografis tepatnya terletak pada 7°56’ LS dan 112°18’30” BT dengan ketinggian
puncak 1.113,9 m di atas permukaan laut(dpl).
Gambar 1. Gunung Kelud
(sumber : goo.gl)
Gunung Kelud termasuk dalam tipe stratovulkan yang diklasifikasikan sebagai
gunung api aktif tipe A bersifat freatomagmatik sampai magmatik. Seperti banyak
gunung api lainnya di Pulau Jawa, Gunung Kelud terbentuk akibat proses subduksi
lempeng benua Indo-Australia terhadap lempeng Eurasia. Sejak sekitar tahun 1300
Masehi, gunung ini tercatat aktif meletus dengan rentang jarak waktu yang
relatif pendek yaitu, 15 sampai 30 tahun sekali.
Secara morfologis, Gunung Api Kelud ditandai oleh keberadaan
beberapa bekas kawah yang tumpang tindih berbentuk tapal kuda di bagian tertentu.
Hal ini mencirikan bahwa telah terjadi erupsi secara berulang dan bersifat
eksplosif. Telah teridentifi kasi sebuah danau kawah pada ketinggian lebih dari
1.200 m yang terbuka ke arah barat, dan diyakini sebagai bekas kaldera letusan
yang telah terisi air, serta teramati masih menunjukkan aktivitas vulkanisme.
Danau kawah tersebut dikelilingi oleh kubah-kubah lava seperti Gunung Lirang,
Gunung Sumbing, Gunung Kelud, dan Gunung Gajah Mungkur (Gambar 2).
Gambar 2. Peta kontur di daerah
sekitar kawah Gunung Kelud
sebelum erupsi tahun 2007
(sumber : jurnal geologi
Indonesia, 2006)
Berdasarkan data sejarah letusan diketahui bahwa daur kegiatan
Gunung Api Kelud berkisar antara 15 sampai dengan 30 tahun, dan kegiatan letusan
terutama terjadi di bagian kawah yang berisi air pada ketinggian >1600 m dpl
dengan letusan berupa semburan lahar primer mencapai suhu 200° C
(Kusumadinata, 1979; Zaennudin dkk.,1986). Begitu eksplosifnya letusan dan
ditambah oleh keterlibatan air danau bervolume relatif besar mengakibatkan
kerusakan yang dahsyat pada lahan pertanian, perkebunan, dan pemukiman termasuk
sejumlah besar korban manusia tewas.
Sejak abad ke-15, Gunung Kelud telah memakan korban lebih dari
15.000 jiwa. Letusan gunung ini pada tahun 1586 merenggut korban lebih dari
10.000 jiwa. Pada abad ke-20, Gunung Kelud tercatat meletus pada tahun 1901,
1919 (1 Mei), 1951 (31 Agustus), 1966 (26 April), dan 1990 (10 Februari-13
Maret). Pola ini membawa para ahli gunung api pada siklus 15 tahunan bagi
letusan gunung ini. Memasuki abad ke-21, gunung ini erupsi pada tahun 2007 dan
13-14 Februari 2014.
Tercatat dalam laporan Carl Wilhelm Wormser (1876-1946), pejabat
Pengadilan Landraad di Tulung Agung (masa kolonial Belanda), yang menjadi saksi
mata erupsi Gunung Kelud tahun 1919. Letusan
1919 ini termasuk di antara yang paling mematikan karena menelan korban 5.160
jiwa, merusak sampai 15.000 ha lahan produktif karena aliran lahar mencapai 38
km, meskipun di Kali Badak telah dibangun bendung penahan lahar pada tahun 1905.
Selain itu, Hugo Cool, seorang ahli pertambangan, pada tahun 1907 juga
ditugaskan melakukan penggalian saluran melalui pematang atau dinding kawah
bagian barat. Usaha itu berhasil mengeluarkan air 4,3 juta meter kubik. Karena
letusan inilah kemudian dibangun sistem saluran terowongan pembuangan air danau
kawah, dan selesai pada tahun 1926. Secara keseluruhan dibangun tujuh
terowongan.
Pada tanggal 31 Agustus 1951, pukul 06.15 WIB atau 06.30 WIB,
Gunung Kelud kembali meletus (erupsi) secara eksplosif. Akibat letusan besar
ini, sejumlah kota di Pulau Jawa terkena hujan abu, termasuk Yogyakarta dan
Surakarta dan mencapai Bandung. Tujuh orang tewas akibat letusan ini, tiga di
antaranya petugas pengamat gunung api. Selain itu, 157 orang terluka. Akibat
letusan ini pula, dasar danau kawah menurun sehingga volume air meningkat menjadi
50 juta meter kubik. Letusan 1951 adalah yang pertama kali terjadi setelah
pembuatan terowongan-terowongan pembuangan air kawah selesai dibangun. Van
Ijzendoorn, Kartograf Kepala Badan Geologi, menyimpulkan bahwa sistem saluran
ini sangat membantu mengurangi dampak kerugian akibat letusan.
Letusan besar terjadi pada tanggal 26 April 1966 pukul 20.15 WIB.
Sekitar 210 lebih orang tewas akibat letusan ini. Sistem terowongan rusak
berat, sehingga dibuatlah terowongan baru 45 meter di bawah terowongan lama.
Terowongan yang selesai tahun 1967 itu diberi nama Terowongan Ampera. Saluran
ini berfungsi mempertahankan volume danau kawah agar stabil pada angka 2,5 juta
meter kubik. Kemudian letusan kembali terjadi pada tahun 1990 berlangsung
selama 45 hari, yaitu 10 Februari 1990 hingga 13 Maret 1990. Pada letusan ini,
Gunung Kelud memuntahkan 57,3 juta meter kubik material vulkanik. Lahar dingin
menjalar sampai 24 kilometer dari danau kawah melalui 11 sungai yang berhulu di
gunung itu. Letusan ini sempat menutup terowongan Ampera dengan material
vulkanik. Proses normalisasi baru selesai pada tahun 1994.
Letusan pada tahun 2007 merupakan letusan yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya.
Karena letusan kali ini tidak eksplosif seperti biasanya melainkan efusif
bertipe freatik (leleran dengan letusan-letusan kecil). Selain itu, letusan ini
menghasilkan suatu sumbat lava berbentuk kubah sebagai hasil aktivitas tinggi
pada kawah. Kubah lava yang dihasilkan ini diikuti dengan munculnya asap tebal putih. Pada akhirnya danau kawah Gunung Kelud
praktis tidak ada dan digantikan oleh kubah lava dengan asap tebal dan tersisa
hanyalah kolam kecil berisi air keruh berwarna kecoklatan di sisi selatan kubah
lava. Para ahli menganggap kubah lava inilah yang menyumbat saluran magma
sehingga letusan tidak segera terjadi. Energi untuk letusan dipakai untuk
mendorong kubah lava sisa letusan tahun 1990.
Letusan pada tahun 2014 merupakan hasil dari akumulasi energi
akibat sumbatan kubah lava pada jalur magma. Letusan ini bersifat eksplosif dan
dampaknya dirasakan hingga Kota Bandung di Jawa Barat. Hujan abu dari letusan melumpuhkan Jawa. Tujuh bandara di
Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Semarang, Cilacap dan Bandung,
ditutup.
Untuk saat ini aktivitas Gunung Kelud kembali normal. Akan tetapi
perlu dilakukan perbaikan terkait infrastruktur di obyek wisata Gunung Kelud
yang 95% hancur. Diketahui bahwa terowongan sebagai alat untuk meminimalisir
kerugian akibat dari letusan Gunung Kelud pada saat ini sudah tertutupi oleh
material-material hasil erupsi tahun 2014. Oleh karenanya perlu dilakukan
pembangunan kembali terkait pembuatan terowongan baru guna menjaga volume air
dalam kawah tetap dalam keadaan normal.
Keadaan sosial masyarakat di sekitar Gunung Kelud cukup baik.
Dimana mayoritas masyarakatnya bermatapencaharian sebagai petani. Pertanian
yang umumnya dilakukan di lereng Gunung Kelud ini adalah buah nanas. Selain
itu, pembangunan intensif yang dilakukan oleh pemrintah Kabupaten Kediri guna
memajukan obyek wisata Gunung Kelud ini semakin meningkatkan kualitas hidup
masyarakat sekitar.
Setiap 23 Suro masyarakat daerah lereng atau kaki Gunung Kelud
tepatnya masyarakat Desa Sugih Waras, Kecamatan Ngancar, Kabupaten Kediri
melakukan upacara ritual, yaitu larung sesaji. Larung sesaji ini dilakukan
berdasarkan kepercayaan masyarakat mengenai asal-usul atau legenda Gunung Kelud
ini yang mana berawal dari penghianatan cinta oleh Dewi Kilisuci Putri Jenggolo
Manik kepada Raja Mahesa Suro dan Raja Lembu Suro. Tujuan larung sesaji ini
adalah tolak balak terhadap sumpah Lembu Suro sebelum mati. Sumpahnya adalah “Yoh,
wong Kediri mbesuk bakal pethuk piwalesku sing makaping kaping yoiku. Kediri bakal
dadi kali, Blitar dadi latar, Tulungagung bakal dadi Kedung”. yang artinya
(Ya, orang Kediri besok akan mendapatkan balasanku yang sangat besar. Kediri
bakal jadi sungai, Blitar akan jadi daratan dan Tulungagung menjadi danau).
Gunung Kelud inipun tidak lepas dari status sengketa kepemilikan
antara Kabupatenn Kediri dan Kabupaten Blitar. Tindakan
Kabupaten Kediri membangun kawasan wisata di wilayah puncak Gunung Kelud
mendapat protes dari Kabupaten Blitar, yang menganggap wilayah puncak Kelud
merupakan wilayahnya. Sengketa wilayah ini terutama meruncing setelah turunnya
Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 188/113/KPTS/013/2012 yang menyatakan
bahwa kawasan puncak Kelud merupakan wilayah Kabupaten Kediri. Atas keluarnya SK tersebut, Pemerintah Kabupaten Blitar menggugat
Gubernur Jatim ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan Pemkab Blitar akhirnya
ditolak PTUN pada akhir tahun 2012. Pasca letusan besar Gunung Kelud pada awal
tahun 2014, status Gunung Kelud kembali menjadi sengketa antara kedua belah
pihak. Soekarwo akhirnya mencabut SK Kepemilikan Gunung Kelud pada awal tahun
2015 dan menyerahkan persoalan ini kepada Kementerian Dalam Negeri.
Dari sekian kali letusan Gunung Kelud yang menyebabkan kehancuran
dan kerusakan dimana-mana, juga meninggalkan material-material tertentu yang
bisa dimanfaatkan. Material terbanyak yang umumnya abu vulkanik yang bentuknya
berupa pasir, sering dimanfaatkan warga sebagai bahan bangunan. Meskipun
kandungan Sulfurnya yang cukup banyak yang menyebabkan pasir tidak secara
langsung bisa dcampur dengan semen, namun dengan perlakuan khusus atau kadar
campuran tertentu akan memperkokoh bangunan. Termasuk diketahui bahwa pasir
hasil erupsi Gunung Kelud dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan
beton.
REFERENSI
Kadarsetia, S. dkk.(2006). Karakteristik
kimiawi air danau kawah Gunung Api Kelud, Jawa Timur pasca letusan tahun 1990. Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 4 Desember 2006: 185-192
Gunung Kelud.(n.d.). Retrieved from http://wisatabromo.com/sejarah-gunung-kelud/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar